Sabtu, 29 Januari 2011

KERAJINAN TRADISIONAL: Tenun Buton Tak Lekang oleh Masa

Jumat, 23 Januari 2009
http://mosonggi.orgBAU-BAU, KOMPAS — Jemari tangan Halimah (61) dengan cekatan menarik kayu balida yang merapatkan benang-benang menjadi kain tenun. Sesekali ia merapikan sulur-sulur benang supaya tidak kusut dan memukul papan tenun dengan martil kayu untuk meluruskan posisinya.

Bunyi ”tek... tek..., tek... tek...” kembali terdengar saat balida beradu dengan papan tenun. Suara itu terdengar di lorong-lorong Desa Sulaa, Kecamatan Betoambari, Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Kerajinan tenun merupakan tradisi turun-temurun masyarakat di Pulau Buton. Kaum perempuan mengekspresikan rasa seni melalui motif-motif kain tenun. Karya seni perempuan Buton ini pernah menjadi salah satu komoditas perdagangan penting pada abad ke-17. Popularitas kain tenun Buton dicatat oleh Pim Schoorl, antropolog asal Belanda, berdasarkan laporan Kapten Apollonius Scotte yang tinggal di Buton dari 17 Desember 1612 hingga 9 Januari 1613. 
VOC pada waktu itu menukarkan koin emas dengan kain tenun Buton yang sangat diminati di Maluku. Pada periode yang sama, Stalpaert van der Wiele seorang pemerhati budaya menyebutkan kain Buton sangat diminati di Seram.
Saat ini, kain tenun Buton tetap mendapat tempat meskipun lingkup pemasaran mengerut di sekitar wilayah Kasultanan Buton. Pemerintah Kota Bau-Bau mencoba memopulerkan kembali kain Buton dengan mewajibkan pegawai mengenakan baju dari kain tenun itu pada hari tertentu. Kain tenun juga dipromosikan sebagai cendera mata bagi para wisatawan.
Usaha menghidupkan kerajinan tenun ini juga melalui penelusuran berbagai motif kain yang pernah ada di zaman Kasultanan Buton. Motif kain tenun Buton sangat beragam, tetapi tidak terdokumentasikan dengan baik. Informasi yang berserakan harus dikumpulkan kembali dengan mengorek keterangan dari para penenun, seperti Halimah.
”Motif kain tenun banyak sekali, ada ratusan, tetapi hanya beberapa yang masih dikenal masyarakat,” ujar Halimah yang menenun sejak usia 15 tahun.
Beberapa motif yang disebutkan Halimah justru berhubungan erat dengan kehidupan agraris bukan bahari. Motif umumnya terinspirasi oleh warna buah dan bunga. Ada juga motif betano walona koncuapa yang terinspirasi dari abu halus yang melayang-layang hasil pembakaran semak saat membuka ladang. Motif itu mengombinasikan warna coklat, merah muda, merah, biru, dan putih.
Motif colo makbahu atau korek basah menggabungkan benang putih, merah tua, merah muda, dan biru. Motif lainnya adalah delima bongko (delima busuk), delima sapuua, delima mangura, kambano sampalu (bunga asam), dan bancamo kalukubula (bunga kelapa).
Halimah menunjukkan potongan-potongan kain tenun yang pernah dibuatnya sambil menyebutkan motifnya. Kain untuk laki-laki memiliki pola benang melintang yang disebut kepala. Kain untuk perempuan lebih sederhana dengan garis-garis lurus untuk tiap warna benang.
Halimah menyimpan lebih dari 100 potong motif kain tenun dalam kantong plastik lusuh yang digantung di tiang rumah panggungnya. Potongan-potongan kain yang sekilas mirip sampah itu sangat bernilai untuk mengumpulkan kekayaan fashion warisan Kasultanan Buton.
”Motif-motif lama masih tetap kami pertahankan. Para penenun muda juga diajari berbagai motif tenun itu. Motif baru juga kami pelajari biasanya ada pola bunga-bunga,” ujar Halimah.
Keterampilan menenun merupakan tradisi yang digeluti oleh kaum perempuan Buton. Kerajinan tangan ini diajarkan kepada anak-anak perempuan sejak usia 10 tahun. Sebagian besar kaum perempuan di desa-desa penenun pasti mahir tatanu (menenun).
Kaum perempuan menenun sepanjang hari saat kaum laki-laki libur melaut atau di luar musim panen rumput laut. Saat panen rumput laut, kaum perempuan membantu mengangkat dan menjemur bahan pembuat agar-agar itu. Pola kerja seperti ini juga ditemui dalam masyarakat nelayan Mandar di Sulawesi Barat. Hasil menenun untuk memenuhi kebutuhan hidup saat hasil laut seret.
”Jika laut sedang gelombang kaum laki-laki beralih menjadi buruh bangunan. Pokoknya kerja apa saja yang bisa menghasilkan uang,” ujar Irwan (28), warga Sulaa.
Kain tenun Buton saat ini dijual mulai dari Rp 100.000 sampai Rp 150.000 per lembar di tingkat penenun. Harga bertambah sekitar Rp 50.000-Rp 100.000 di etalase toko cendera mata dan hotel. Penghasilan para penenun biasanya meningkat saat awal tahun, Idul Fitri, dan lebaran haji. Kain tenun bisa dijadikan kemeja, sarung untuk shalat dan kain jarit bagi kaum hawa.
Satu lembar kain biasanya diselesaikan dalam waktu tiga hari jika tidak ada kerja lain. Proses penenunan sebenarnya bisa lebih cepat, tetapi para ibu masih harus mengerjakan tugas rumah tangga seperti memasak dan mencuci. Jika ada kerja lain, seperti hajatan tetangga, selembar kain panjang empat meter dan lebar 67 cm baru selesai dalam seminggu.
”Kalau ada pesanan banyak, kami bagi ke penenun lain supaya bisa selesai tepat waktu. Baru-baru ini ada pesanan 200 potong kain untuk seragam. Kalau dikerjakan sendiri tidak mungkin selesai,” ujar Halimah.
Pesanan kain tenun biasanya dari masyarakat dan instansi di Pulau Buton. Pesanan dari Kendari masih jarang, tetapi ada terus setiap tahun. Wisatawan asing juga mulai meminati kain tenun Buton untuk kenang-kenangan. Harapan untuk mengangkat popularitas kain tenun Buton masih terbuka, apalagi ada perhatian dari pemerintah Kota Bau-Bau yang memasukkannya dalam paket wisata andalan. (AGUNG SETYAHADI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar